1.
Definisi Self
Esteem
Menurut
Santrok (2003) self esteem merupakan
dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri. Self esteem juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri.
Menurut
Atwater (dalam Dariuszky, 2004) self
esteem adalah cara seseorang merasakan dirinya sendiri, dimana seseorang
akan menilai tentang dirinya sehingga mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya
sehari-hari.
Menurut Coopersmith (1967)
self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang
dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan
keberhargaan. Secara singkat self esteem adalah “personal
judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang di ekspresikan dalam
sikap-sikap individu terhadap dirinya.
2.
Aspek-aspek Self Esteem
Menurut
Rosenberg (dalam Rahmania & Yuniar, 2012) self esteem memiliki dua
aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan diri. Kedua aspek tersebut
memiliki 5 dimensi yaitu dimensi akademik, sosial, emosional, keluarga, dan
fisik. Dimensi akademik mengacu pada persepsi individu terhadap kualitas
pendidikan individu, dimensi sosial mengacu pada persepsi individu terhadap
hubungan sosial individu, dimensi emosional merupakan keterlibatan individu
terhadap emosi individu, dimensi keluarga mengacu pada keterlibatan individu
dalam partisipasi dan integrasi di dalam keluarga, dan dimensi fisik yang
mengacu pada persepsi individu terhadap
kondisi fisik individu.
Sedangkan
menurut Brown (dalam Santrock, 2003) terdapat 3 aspek yang berhubungan dengan self-esteem,
yaitu:
a.
Global self-esteem, merupakan variabel dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai
waktu dan situasi.
b.
Self-evaluation, merupakan bagaimana cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan
atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya ada seseorang yang kurang
yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem
yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa
dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem
sosial yang tinggi.
c.
Emotion, adalah keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul sebagai
konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan
bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau
menurunkan self-esteem mereka. Misalnya, seseorang memiliki self-esteem
yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self-esteem
yang rendah setelah mengalami perceraian.
3.
Faktor Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967) self esteem dalam
perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungan dan
atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap
dirinya. Berdasarkan teori-teori dan penelitian sebelumya mengarahkan Coopersmith (1967) untuk
menyimpulkan 4 faktor utama yang memberi kontribusi pada perkembangan self
esteem, yaitu:
a.
Respectful, penerimaan, dan perlakuan yang diterima individu dari significant
others.
Significant others adalah orang yang penting dan berarti bagi individu, dimana ia
menyadari peran mereka dalam memberi dan menghilangkan ketidaknyamanan,
meningkatkan dan mengurangi ketidakberdayaan, serta meningkatkan dan mengurangi
keberhargaan diri. Self esteem bukan merupakan faktor yang dibawa
sejak lahir, tetapi merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari
pengalaman individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam
berinteraksi tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas dirinya berdasarkan
reaksi yang ia terima dari orang lain.
Keluarga
merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi anak. Perilaku yang diberikan
orang tua kepada anaknya akan membentuk self esteem si anak.
Jika hubungan orang tua dan anak merupakan hubungan interpersonal pertama yang
dialami memberikan kesan buruk bagi anak, maka hal tersebut dapat mempengaruhi
penilaian dirinya dikemudian hari. Oleh karena itu orang tua merupakan significant
others yang utama dalam perkembangan self esteem anak.
Tetapi self esteem anak belum sepenuhnya terbentuk dan masih
dapat berubah. Setelah si anak masuk kepada masa tengah dan akhir, apalagi
setelah memiliki lingkungan sosial (baik di sekolah maupun di masyarakat),
pengaruh kelompok teman sebaya mulai menggantikan peran orang tua sebagai
orang-orang yang berpengaruh terhadap self esteem anak. Pada
masa-masa tersebut anak dituntut untuk mampu berkompetisi dan kompeten untuk
mendapat penghargaan dari teman-teman yang akan mempengaruhi juga terhadap
penilaian dirinya. Seseorang yang merasa dirinya dihormati, diterima dan
diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk self esteem yang
tinggi, dan sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan diperlakukan
buruk akan cenderung akan membentuk self esteem yang rendah.
b.
Sejarah keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai
individu.
Keberhasilan,
status dan posisi yang pernah dicapai individu tersebut akan membentuk suatu
penilaian terhadap dirinya, berdasarkan dari penghargaan yang diterima
dari orang lain. Status merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang
diindikasikan dengan pengakuan dan penerimaan dirinya oleh masyarakat.
c.
Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi.
Pengamalan-pengalaman
individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan
aspirasi yang dimilikinya. Individu akan memberikan penilaian yang berbeda
terhadap berbagai bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan ini merupakan
fungsi dari nilai-nilai yang mereka internalisasikan dari orang tua dan
individu lain yang signifikan dalam hidupnya. Individu pada semua tingkat self
esteem mungkin memberikan standar nilai yang sama untuk menilai
keberhargaannya, namun akan berbeda dalam hal bagaimana mereka menilai pencapaian
tujuan yang telah diraihnya.
d.
Cara individu merespon devaluasi terhadap dirinya.
Individu
dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat perlakuan yang merendahkan
diri dari orang lain atau lingkungan, salah satunya adalah ketika individu mengalami
kegagalan. Pemaknaan individu terhadap kegagalan tergantung pada caranya
mengatasi situasi tersebut, tujuan, dan aspirasinya. Cara individu mengatasi
kegagalan akan mencerminkan bagaimana ia mempertahankan harga dirinya dari
perasaan tidak mampu, tidak berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral.
Individu yang dapat mengatasi kegagalan dan kekurangannya adalah dapat
mempertahankan self esteemnya.
Coopersmith, Stanley. (1967).
The antecedents of self esteem. United States of America: Consulting
Psychologists Press.
Dariuszky, G. (2004). Membangun harga diri. Bandung: Penerbit Pionir Jaya.
Rahmania, P.N,. & Yuniar, I.C. (2012). Hubungan
antara self esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja
putri. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental. Vol. 1 No. 02.
Santrock, John. W. (2003). Adolescence. New York: McGraw-Hill.
please use them nicely, don't forget to put the source.
please use them nicely, don't forget to put the source.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar