Histoire
de Ma Vie
Aku,
lahir di sebuah kota kecil di timur Indonesia, di pulau kecil yang dikelilingi
lautan hijau indah, kota yang disebut Masohi. Namaku Roza Nabila, yang kata
ibuku artinya cerdik, seperti kancil yang dengan pemikirannya dapat meloloskan
diri dari berbagai situasi yang mengancam nyawanya. Aku tidak yakin apakah aku
cerdik, tapi aku yakin akan diriku. Aku lahir pada hari Kamis, 03 Juli 1997,
berarti aku berusia 20 tahun 5 bulan pada saat ini. Aku anak kedua dan memiliki
empat saudara, jika berdasarkan urutan kelahiran maka aku memiliki satu kakak
laki-laki bernama Zaki, adik laki-laki bernama Agil, adik perempuan bernama
Balqis, dan adik laki-laki bungsu bernama Ashraf. Ibuku bernama Nurhani, wanita
tegas dan wirausahawan yang baik, dan ayahku bernama Khairul Anwar, pria yang
hangat dan bersahabat, aku pikir mereka berdua adalah pasangan yang saling
melengkapi.
Aku
adalah anak yang aktif saat kecil. Aku ingat ketika aku bersekolah di TK
Al-Qutub, aku adalah anak yang menguasai ayunan di taman sekolah. Aku sepertinya
lumayan baik dalam pelajaran sekolah karena aku lulus dengan nilai yang lumayan
baik pada saat itu. Setelah lulus TK, aku langsung masuk SD. Dulu, anak berusia
dibawah 7 tahun tidak diperbolehkan masuk SD, aku berusia 6 tahun pada saat aku
lulus TK. Ayahku orang yang sangat menghargai pendidikan, ia tidak ingin aku
menganggur setahun sehingga pada akhirnya aku diterima di SDN 06 Masohi. Pada saat
aku kelas 3 SD, sekolahku mengalami pemekaran, singkatnya sekolahku dibagi
menjadi dua bagian, SDN 06 Masohi dan SDN 12 Masohi. Para guru dan siswa
sebagian masuk ke sekolah pemekaran, dan aku salah-satunya. Ternyata pemekaran
tidak begitu buruk, pemerintah membuat bangunan baru untuk sekolahku. Pada masa
itu, keaktifanku terlihat dari keikutsertaanku dalam lomba gerak jalan se-kota
Masohi dalam rangka ulang tahun kotaku. Beruntung, kami mendapat juara dua
dalam gerak jalan tersebut, dan menjadi alasan aku mengikuti lomba gerak jalan
lagi pada masa SMP. Untuk bagian akademik, aku berhasil lulus dari SDN 12
Masohi dengan peringkat dua terbaik di sekolahku. Peringkat pertama adalah
saingan terberatku, yang mungkin bisa disebut sebagai lawan jenis yang pertama yang
kusukai. Sayangnya setelah lulus SD, kita masuk di sekolah yang berbeda dan
kehilangan kontak.
Setelah
lulus SD, aku lanjut ke SMPN 01 Masohi dan menjadi anggota Marching Band di
sekolahku. Tapi itu tak berlangsung lama. Timur Indonesia adalah daerah yang
rawan akan konflik, dan pada waktu itu merebak konflik antar agama Islam dan
Kristen. Sekolahku adalah sekolah yang mayoritasnya beragama Kristen sehingga aku
yang beragama Islam dilarang untuk pergi ke sekolah. Karena perbaikan ekonomi
dan juga karena konflik tersebut, keluarga kami yang pada awalnya tinggal di
dekat pasar pindah di daerah yang agak tinggi, daerah sekolahan dan mayoritas
muslim. Aku juga akhirnya pindah sekolah ke SMPN 02 Masohi yang berjarak 5
menit jalan kaki dari rumah. Di sekolah baruku, aku masuk ke kelas 01, kelas
yang dilabeli kata unggulan oleh para guru dan menjadi contoh bagi kelas yang
lain. Aku menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Kelas, walaupun aku merasa
aku tidak melakukan apapun yang bermanfaat atas nama MPK. Aku kembali mengikuti
lomba gerak jalan, dan kali ini sekolahku mengirim tiga tim. Aku berada pada
tim B, dan timku kembali memenangi juara dua. Baiknya, tim A sekolahku
memenangkan perlombaan sebagai juara satu dan tim C kami mendapat juara harapan
satu. Aku pernah mengikuti cerdas cermat dan debat bahasa Inggris pada masa
SMP, tapi aku kalah pada babak penyisihan, dan setelah itu aku tidak pernah
mengikuti lomba sejenisnya lagi. SMP kelas tiga adalah masa dimana aku mulai belajar
untuk tidak mentaati peraturan, ingin tahu tentang lawan jenis, dan ingin
menghilangkan label “murid baik” pada namaku. Aku lebih memilih bermain di
lapangan belakang sekolah, bolos pada beberapa mata pelajaran dan mulai
berpacaran dengan teman laki-lakiku. Untungnya, aku tidak mau sepenuhnya
menghilangkan label “anak baik” sehingga aku tetap berusaha agar nilaiku tidak
memburuk, walaupun aku lebih memilih bermain ketimbang belajar. Aku bertindak “anak
baik” seperti biasanya, terutama ketika di rumah. Orang tuaku memiliki harapan
yang besar padaku dan aku tidak bisa mengecewakan mereka, aku harus bisa
menjadi kakak yang dapat memberi contoh pada adik-adikku, karena itu aku hanya
menjadi anak nakal ketika aku sedang diluar bersama teman-temanku. Aku berpacaran
secara sembunyi-sembunyi. Pada akhirnya aku ketahuan. Orang tuaku tidak
mengetahui bahwa aku pernah bolos kelas, tapi fatalnya orang tuaku mengetahui
aku memiliki pacar. Sudah pasti, aku dimarahi dan dinasehati untuk putus, tapi
tidak kudengarkan. Aku lulus SMP dengan prestasi yang lumayan, peringkat tiga
besar di sekolahku, aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berbicara pada
ibuku dan membuktikan bahwa aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Aku bisa
memiliki pacar, bermain-main, dan berprestasi dalam waktu yang bersamaan. Ibuku
tidak berkata banyak padaku tapi ia membolehkan aku melakukan apa yang aku mau.
Setelah
kejadian tersebut, aku memikirkan hidupku, mau jadi apa aku di masa depan? Aku agak
menyesal, aku ternyata menyukai label “anak baik” tersebut dan aku ingin
mempertahankannya. Orang tuaku menyarankanku untuk melanjutkan pendidikan ke
pesantren di Jakarta, tempat dimana ibuku dulu bersekolah, tapi aku menolaknya.
Aku memilih melanjutkan pendidikan di pesantren bersama salah satu teman SMP-ku.
Nama pesantren itu adalah Ummul Mukminin Boarding School, sekolah asrama khusus
putri di Makassar yang disetarakan dengan SMA pada umumnya. Aku hanya bertahan
satu semester disana, dan pada awal semester genap aku kembali bersekolah di
Masohi, tepatnya di SMAN 02 Masohi. Ketika SMA aku masuk IPA-03, aku menjadi
anggota di Telkomsel School Community, walaupun aku tetap tidak merasa telah
melakukan suatu perubahan berarti. Aku juga menjadi Duta Keselamatan
Berlalu-lintas, tugasku ialah menginformasikan betapa pentingnya melengkapi
atribut berkendara untuk mencegah kecelakaan. Kami mendapat seragam tersendiri
lengkap dengan topi dan selempang bertuliskan “Duta Keselamatan Berlalu-lintas”.
Selain dua itu, aku praktis tidak mengikuti apapun lagi kecuali pramuka wajib
di sekolahku. Aku bahkan tidak mengikuti gerak jalan, dan aku tidak memiliki
potensi dalam bidang olahraga lainnya. Sepertinya aku hanya belajar dan bermain
pada masa itu. Untuk urusan pacaran, anehnya aku tidak memiliki pacar sewaktu
SMA, mantan terakhirku adalah yang dulu aku pacari ketika SMP kelas tiga. Aku lulus
dari SMA dengan peringkat lima besar se-kelasku. Menurutku bukan hal yang bisa
dibanggakan mengingat hanya se-kelas dan bukan se-sekolah, tapi setidaknya aku
merasa usaha yang aku keluarkan sebanding dengan apa yang aku raih.
Semenjak
SD, aku selalu bercita-cita ingin menjadi dokter. Menurutku dokter adalah orang
yang keren, berwibawa, dan dihormati oleh semua orang. Mereka pintar, dan
mereka mendedikasikan dirinya untuk menolong orang lain. Orang tuaku juga
sependapat denganku, dan mereka ingin aku melanjutkan pendidikan kedokteran di
salah satu universitas negeri di pulau Jawa. Sayangnya, manusia hanya bisa
merencanakan dan Tuhan-lah yang menentukan. Aku tidak lulus dalam tes masuk kedokteran
di berbagai universitas. Kebetulan ibuku adalah seorang wirausahawan yang juga
bergerak di bidang kosmetik, ia menyarankan aku untuk melanjutkan pendidikan di
Puspita Martha: School of Beauty Aesthetics, dan aku menyanggupi. Disana aku
mempelajari seluk-beluk kulit manusia dan bagaimana cara merawat kulit dari
wajah hingga kaki. Sebenarnya aku cukup menikmatinya, tapi aku lebih menyukai
pelajaran tentang tubuh manusia dibandingkan prakteknya. Aku lulus setelah
menerima pendidikan kurang lebih satu semester. Pada saat itu banyak
universitas yang membuka penerimaan mahasiswa baru, dan aku mencoba
keberuntunganku lagi untuk masuk kedokteran universitas negeri di Jakarta. Dan,
aku gagal lagi. Aku kemudian berpikir untuk mengganti jurusan, kalau tidak bisa
kedokteran, bolehlah jurusan yang mendekati, dan aku terpikir untuk masuk jurusan
psikologi. Kebetulan, aku diterima di Universitas Gunadarma jurusan Psikologi,
dan setelah kulihat-lihat akreditasinya A. Orang tuaku menyetujuinya dan akhirnya
aku kuliah disana. Saat itulah aku memiliki motto hidupku, “tidak ada yang
sia-sia”. Apapun yang telah kulakukan, baik yang aku sesali atau yang
membanggakan, menjadikan aku pribadi seperti sekarang. Tidak ada yang sia-sia. Awalnya
aku merasa bodoh, mengapa aku mengambil jurusan psikologi? Aku bahkan tidak tau
akan jadi apa lulusan psikologi itu. Tapi semakin kesini semakin aku jatuh
cinta dengan ilmu psikologi ini. Tidak sia-sia aku mencoba jurusan psikologi
ini ketimbang jurusan lain yang lebih dekat dengan kedokteran, kesehatan
masyarakat misalnya. Pencetus terkuat motto ini, tidak sia-sia aku gagal dalam
tes kedokteran. Jika aku tidak gagal maka aku tidak akan menemukan hal yang
begitu kusukai.
Aku
percaya bahwa semua orang pada hakikatnya adalah “anak baik”. Tapi, yang
menentukan apakah mereka bisa tetap menjadi anak baik adalah pola asuh orang
tuanya dan juga prinsip yang dimilikinya. Seorang anak akan berpegangan pada
persepsi “anak baik” orang tuanya, dimana disini anak baik menurut persepsi
orang tuaku adalah anak yang aktif dan berprestasi di sekolahnya, konservatif
dan tidak melanggar budaya timur. Kemudian prinsip yang aku pegang teguh, tidak
ingin mengecewakan orang tua dan tidak ingin kehilangan label “anak baik”,
adalah hal yang membuatku tetap pada jalanku walaupun banyak keadaan yang bisa
membuatku berbelok.
Kemudian,
motto hidupku, tidak ada yang sia-sia, merupakan kalimat yang efektif ketika
aku mulai merasa gagal melakukan sesuatu. Kita pasti menginginkan sesuatu yang
menurut kita paling baik diantara yang lainnya, tetapi belum tentu yang kita
inginkan adalah yang terbaik buat kita. Terkadang, apa yang paling tidak kita
sukai adalah yang paling baik untuk kita. Selalu ada jalan. Tidak ada yang
sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar