snow

Minggu, 17 Desember 2017

Histoire de Ma Vie - Kisah Hidupku

Histoire de Ma Vie

Aku, lahir di sebuah kota kecil di timur Indonesia, di pulau kecil yang dikelilingi lautan hijau indah, kota yang disebut Masohi. Namaku Roza Nabila, yang kata ibuku artinya cerdik, seperti kancil yang dengan pemikirannya dapat meloloskan diri dari berbagai situasi yang mengancam nyawanya. Aku tidak yakin apakah aku cerdik, tapi aku yakin akan diriku. Aku lahir pada hari Kamis, 03 Juli 1997, berarti aku berusia 20 tahun 5 bulan pada saat ini. Aku anak kedua dan memiliki empat saudara, jika berdasarkan urutan kelahiran maka aku memiliki satu kakak laki-laki bernama Zaki, adik laki-laki bernama Agil, adik perempuan bernama Balqis, dan adik laki-laki bungsu bernama Ashraf. Ibuku bernama Nurhani, wanita tegas dan wirausahawan yang baik, dan ayahku bernama Khairul Anwar, pria yang hangat dan bersahabat, aku pikir mereka berdua adalah pasangan yang saling melengkapi.

Aku adalah anak yang aktif saat kecil. Aku ingat ketika aku bersekolah di TK Al-Qutub, aku adalah anak yang menguasai ayunan di taman sekolah. Aku sepertinya lumayan baik dalam pelajaran sekolah karena aku lulus dengan nilai yang lumayan baik pada saat itu. Setelah lulus TK, aku langsung masuk SD. Dulu, anak berusia dibawah 7 tahun tidak diperbolehkan masuk SD, aku berusia 6 tahun pada saat aku lulus TK. Ayahku orang yang sangat menghargai pendidikan, ia tidak ingin aku menganggur setahun sehingga pada akhirnya aku diterima di SDN 06 Masohi. Pada saat aku kelas 3 SD, sekolahku mengalami pemekaran, singkatnya sekolahku dibagi menjadi dua bagian, SDN 06 Masohi dan SDN 12 Masohi. Para guru dan siswa sebagian masuk ke sekolah pemekaran, dan aku salah-satunya. Ternyata pemekaran tidak begitu buruk, pemerintah membuat bangunan baru untuk sekolahku. Pada masa itu, keaktifanku terlihat dari keikutsertaanku dalam lomba gerak jalan se-kota Masohi dalam rangka ulang tahun kotaku. Beruntung, kami mendapat juara dua dalam gerak jalan tersebut, dan menjadi alasan aku mengikuti lomba gerak jalan lagi pada masa SMP. Untuk bagian akademik, aku berhasil lulus dari SDN 12 Masohi dengan peringkat dua terbaik di sekolahku. Peringkat pertama adalah saingan terberatku, yang mungkin bisa disebut sebagai lawan jenis yang pertama yang kusukai. Sayangnya setelah lulus SD, kita masuk di sekolah yang berbeda dan kehilangan kontak.

Setelah lulus SD, aku lanjut ke SMPN 01 Masohi dan menjadi anggota Marching Band di sekolahku. Tapi itu tak berlangsung lama. Timur Indonesia adalah daerah yang rawan akan konflik, dan pada waktu itu merebak konflik antar agama Islam dan Kristen. Sekolahku adalah sekolah yang mayoritasnya beragama Kristen sehingga aku yang beragama Islam dilarang untuk pergi ke sekolah. Karena perbaikan ekonomi dan juga karena konflik tersebut, keluarga kami yang pada awalnya tinggal di dekat pasar pindah di daerah yang agak tinggi, daerah sekolahan dan mayoritas muslim. Aku juga akhirnya pindah sekolah ke SMPN 02 Masohi yang berjarak 5 menit jalan kaki dari rumah. Di sekolah baruku, aku masuk ke kelas 01, kelas yang dilabeli kata unggulan oleh para guru dan menjadi contoh bagi kelas yang lain. Aku menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Kelas, walaupun aku merasa aku tidak melakukan apapun yang bermanfaat atas nama MPK. Aku kembali mengikuti lomba gerak jalan, dan kali ini sekolahku mengirim tiga tim. Aku berada pada tim B, dan timku kembali memenangi juara dua. Baiknya, tim A sekolahku memenangkan perlombaan sebagai juara satu dan tim C kami mendapat juara harapan satu. Aku pernah mengikuti cerdas cermat dan debat bahasa Inggris pada masa SMP, tapi aku kalah pada babak penyisihan, dan setelah itu aku tidak pernah mengikuti lomba sejenisnya lagi. SMP kelas tiga adalah masa dimana aku mulai belajar untuk tidak mentaati peraturan, ingin tahu tentang lawan jenis, dan ingin menghilangkan label “murid baik” pada namaku. Aku lebih memilih bermain di lapangan belakang sekolah, bolos pada beberapa mata pelajaran dan mulai berpacaran dengan teman laki-lakiku. Untungnya, aku tidak mau sepenuhnya menghilangkan label “anak baik” sehingga aku tetap berusaha agar nilaiku tidak memburuk, walaupun aku lebih memilih bermain ketimbang belajar. Aku bertindak “anak baik” seperti biasanya, terutama ketika di rumah. Orang tuaku memiliki harapan yang besar padaku dan aku tidak bisa mengecewakan mereka, aku harus bisa menjadi kakak yang dapat memberi contoh pada adik-adikku, karena itu aku hanya menjadi anak nakal ketika aku sedang diluar bersama teman-temanku. Aku berpacaran secara sembunyi-sembunyi. Pada akhirnya aku ketahuan. Orang tuaku tidak mengetahui bahwa aku pernah bolos kelas, tapi fatalnya orang tuaku mengetahui aku memiliki pacar. Sudah pasti, aku dimarahi dan dinasehati untuk putus, tapi tidak kudengarkan. Aku lulus SMP dengan prestasi yang lumayan, peringkat tiga besar di sekolahku, aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berbicara pada ibuku dan membuktikan bahwa aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Aku bisa memiliki pacar, bermain-main, dan berprestasi dalam waktu yang bersamaan. Ibuku tidak berkata banyak padaku tapi ia membolehkan aku melakukan apa yang aku mau.

Setelah kejadian tersebut, aku memikirkan hidupku, mau jadi apa aku di masa depan? Aku agak menyesal, aku ternyata menyukai label “anak baik” tersebut dan aku ingin mempertahankannya. Orang tuaku menyarankanku untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren di Jakarta, tempat dimana ibuku dulu bersekolah, tapi aku menolaknya. Aku memilih melanjutkan pendidikan di pesantren bersama salah satu teman SMP-ku. Nama pesantren itu adalah Ummul Mukminin Boarding School, sekolah asrama khusus putri di Makassar yang disetarakan dengan SMA pada umumnya. Aku hanya bertahan satu semester disana, dan pada awal semester genap aku kembali bersekolah di Masohi, tepatnya di SMAN 02 Masohi. Ketika SMA aku masuk IPA-03, aku menjadi anggota di Telkomsel School Community, walaupun aku tetap tidak merasa telah melakukan suatu perubahan berarti. Aku juga menjadi Duta Keselamatan Berlalu-lintas, tugasku ialah menginformasikan betapa pentingnya melengkapi atribut berkendara untuk mencegah kecelakaan. Kami mendapat seragam tersendiri lengkap dengan topi dan selempang bertuliskan “Duta Keselamatan Berlalu-lintas”. Selain dua itu, aku praktis tidak mengikuti apapun lagi kecuali pramuka wajib di sekolahku. Aku bahkan tidak mengikuti gerak jalan, dan aku tidak memiliki potensi dalam bidang olahraga lainnya. Sepertinya aku hanya belajar dan bermain pada masa itu. Untuk urusan pacaran, anehnya aku tidak memiliki pacar sewaktu SMA, mantan terakhirku adalah yang dulu aku pacari ketika SMP kelas tiga. Aku lulus dari SMA dengan peringkat lima besar se-kelasku. Menurutku bukan hal yang bisa dibanggakan mengingat hanya se-kelas dan bukan se-sekolah, tapi setidaknya aku merasa usaha yang aku keluarkan sebanding dengan apa yang aku raih.

Semenjak SD, aku selalu bercita-cita ingin menjadi dokter. Menurutku dokter adalah orang yang keren, berwibawa, dan dihormati oleh semua orang. Mereka pintar, dan mereka mendedikasikan dirinya untuk menolong orang lain. Orang tuaku juga sependapat denganku, dan mereka ingin aku melanjutkan pendidikan kedokteran di salah satu universitas negeri di pulau Jawa. Sayangnya, manusia hanya bisa merencanakan dan Tuhan-lah yang menentukan. Aku tidak lulus dalam tes masuk kedokteran di berbagai universitas. Kebetulan ibuku adalah seorang wirausahawan yang juga bergerak di bidang kosmetik, ia menyarankan aku untuk melanjutkan pendidikan di Puspita Martha: School of Beauty Aesthetics, dan aku menyanggupi. Disana aku mempelajari seluk-beluk kulit manusia dan bagaimana cara merawat kulit dari wajah hingga kaki. Sebenarnya aku cukup menikmatinya, tapi aku lebih menyukai pelajaran tentang tubuh manusia dibandingkan prakteknya. Aku lulus setelah menerima pendidikan kurang lebih satu semester. Pada saat itu banyak universitas yang membuka penerimaan mahasiswa baru, dan aku mencoba keberuntunganku lagi untuk masuk kedokteran universitas negeri di Jakarta. Dan, aku gagal lagi. Aku kemudian berpikir untuk mengganti jurusan, kalau tidak bisa kedokteran, bolehlah jurusan yang mendekati, dan aku terpikir untuk masuk jurusan psikologi. Kebetulan, aku diterima di Universitas Gunadarma jurusan Psikologi, dan setelah kulihat-lihat akreditasinya A. Orang tuaku menyetujuinya dan akhirnya aku kuliah disana. Saat itulah aku memiliki motto hidupku, “tidak ada yang sia-sia”. Apapun yang telah kulakukan, baik yang aku sesali atau yang membanggakan, menjadikan aku pribadi seperti sekarang. Tidak ada yang sia-sia. Awalnya aku merasa bodoh, mengapa aku mengambil jurusan psikologi? Aku bahkan tidak tau akan jadi apa lulusan psikologi itu. Tapi semakin kesini semakin aku jatuh cinta dengan ilmu psikologi ini. Tidak sia-sia aku mencoba jurusan psikologi ini ketimbang jurusan lain yang lebih dekat dengan kedokteran, kesehatan masyarakat misalnya. Pencetus terkuat motto ini, tidak sia-sia aku gagal dalam tes kedokteran. Jika aku tidak gagal maka aku tidak akan menemukan hal yang begitu kusukai.

Aku percaya bahwa semua orang pada hakikatnya adalah “anak baik”. Tapi, yang menentukan apakah mereka bisa tetap menjadi anak baik adalah pola asuh orang tuanya dan juga prinsip yang dimilikinya. Seorang anak akan berpegangan pada persepsi “anak baik” orang tuanya, dimana disini anak baik menurut persepsi orang tuaku adalah anak yang aktif dan berprestasi di sekolahnya, konservatif dan tidak melanggar budaya timur. Kemudian prinsip yang aku pegang teguh, tidak ingin mengecewakan orang tua dan tidak ingin kehilangan label “anak baik”, adalah hal yang membuatku tetap pada jalanku walaupun banyak keadaan yang bisa membuatku berbelok.

Kemudian, motto hidupku, tidak ada yang sia-sia, merupakan kalimat yang efektif ketika aku mulai merasa gagal melakukan sesuatu. Kita pasti menginginkan sesuatu yang menurut kita paling baik diantara yang lainnya, tetapi belum tentu yang kita inginkan adalah yang terbaik buat kita. Terkadang, apa yang paling tidak kita sukai adalah yang paling baik untuk kita. Selalu ada jalan. Tidak ada yang sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar